“Lembaga penyiaran itu yang ngawasin ada 11 badan, saya hitung. Jadi ada 11 kementerian dan lembaga negara yang mengawasi lembaga penyiaran, 11 badan. Sementara OTT dan platform itu lawless ya, nggak ada yang ngawasin,” ungkap Rafiq.
Dia mencontohkan permasalahan yang dialami lembaga penyiaran publik dalam menaati aturan yang diterapkan lembaga pengawas penyiaran. Kasusnya terkait larangan 42 lagu yang dilarang diputar di radio-radio resmi Indonesia.
“Contoh yang paling sederhana, Komisi Penyiaran Indonesia pernah mengeluarkan daftar 42 lagu. Jadi ada 42 lagu yang dilarang diputar oleh radio di seluruh Indonesia,” katanya.
“Biasanya lagu-lagu itu dilarang karena liriknya kasar, pornografi, dan lain-lain gitu ya,” lanjutnya.
Ketika lembaga penyiaran menaati peraturan yang melarang pemutaran lagu tersebut, penyedia layanan OTT dan platform digital malah mempublikasikan lagu-lagu yang dilarang tersebut.